Kamis, 31 Mei 2012

KUHAP


KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA
Jum’at 01/06/2012
By : Brikjon.
System penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia dilaksanakan oleh insitusi penegak hukum yaitu polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan hakim sebagai pemutus perkara lembaga pemasyarakatan sebagai tempat terpidana menjalankan hukumanya.Proses kerjasama lembaga penegak hukum tersebut diatur dalam kitab unadang-undang hukum pidana, sehingga terlihat kejelasan kewajiban maupun batas wewenang dari masing-masing lembaga.
Di samping mengatur tentang peran, tanggung jawab dan batas wewenang masing-masing intansi penegak hukum itu, di dalam KUHAP sendiri juga diatur tentang kewajiban serta hak-hak tersangka di dalam upaya mencari kebenaran dan keadilan.Upaya-upaya hukum sebagai hak tersangka untuk membela dirinya merupakan wujud penghormatan hak azasinya. Tersangka belum dianggap bersalah (presumption of  innocent) jika belum ada keputusan yang tetap atau inkrah dari hakim di suatu proses peradilan yang bebas dari ancaman, tekanan ataupun intervensi dari pihak manapun untuk memenangkan perkaranya. Hakim bebas untuk menetapkan hukuman berdasarkan keyakinanya yang benar dengan melihat alat-alat bukti yang ada (pasal 184 KUHP)
Proses penyidikan tindak pidana berawal dari adanya suatu laporan atau pengaduan dari masyarakat yang melihat ataupun mengalami langsung suatu tindak kejahatan atau ditemukan sendiri oleh petugas kepolisian.
            Dari sinilah polisi melaksanakan wewenangnya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti yang dengan barang bukti tersebut akan membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Polisi wajib melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan benar dan bertanggung jawab tanpa mengharapkan suatu imbalan. Berhasil atau tidak berhasil mengungkap suatu tindak kejahatan polisi dilarang menerima imbalan baik itu dari tersangka maupun korban. Demikian juga dengan jaksa dan hakim, memiliki kode etik tersendiri  yang tujuna akhirnya adalah menerapkan sistem peradilan di Indonesia yang mampu menjadi  tempat pencari keadilan  yang sebenarnya bagi tiap individu.

Selasa, 29 Mei 2012

PENGARUH POLITIK TERHADAP PENEGAKAN HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG

Membicarakan korelasi antara hukum dan politik merupakan kajian yang menarik di kalangan ahli hukum dan politik. Kajian ini menarik karena dua topik ini memiliki ranah yang berbeda. Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum adalah wilayah “hitam putih” yang salah harus dihukum, yang benar harus dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards). Sedangkan politik adalah ranah “kepentingan” sebagai corestone nya, “politic is a goal attainment” politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Politik menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, tak peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa mewujudkan tujuannya maka cara itulah yang ditempuh.
Yang menarik justru antara kedua topik yang berbeda itu ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi. Pada tataran realitas kedua topik tersebut kadang-kadang menunjukkan bahwa hukum dapat mempengaruhi politik atau sebaliknya politik dapat mempengaruhi hukum. Moh Mahfud MD mengemukakan tentang hal tersebut bahwa terdapat tiga macam jawaban untuk melihat hubungan antara hukum dan politik. Pertama, hukum merupakan determinan politik, kegiatan politik harus tunduk pada hukum, Kedua, pandangan yang melihat bahwa politik determinan atas hukum karena sesungguhnya hukum adalah produk politik yang sarat dengan kepentingan dan konfigurasi politik, dan ketiga pandangan yang melihat bahwa hukum dan politik merupakan dua elemen subsistem kemasyarakatan yang seimbang, karena walaupun hukum merupakan produk politik maka ketika ada hukum yang mengatur aktivitas politik maka politikpun harus tunduk pada hukum. 
Ketiga macam jawaban di atas adalah bangunan teori yang dibangun berdasarkan realitas relasi antara dua sistem tersebut. Pada kesimpulan akhir tulisanya Mahfud MD menyimpulkan bahwa sesungguhnya politik determinan atas hukum, hukum yang lahir merupakan cerminan konfigurasi politik. Dalam hubungan tarik menarik antara hukum dan politik maka sesungguhnya politik mempunyai energi yang cukup kuat untuk mempengaruhi hukum. Asumsi dasar tadi memperlihatkan bahwa dalam konfigurasi politik yang demokratis maka yang lahir adalah produk hukum yang responsif/populistik, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang konservatif /ortodoks dan elitis. 

B. Perumusan Masalah
  1. Bagaimanakah perubahan itu dapat terjadi?
  2. Seberapa besar pengaruh kesepakatan para elit politik terhadap perubahan hukum di Indonesia?
C. Tujuan
  1. Menganalisis besarnya  pengaruh  komunikasi para elit politik dalam rangka menjalani kewajiban dan wewenamgnya dalam mengatur  suatu kondisi bangsa, terhadap dinamika hukum yang terjadi di Indonesia.
D. Manfaat
  1. Memenuhi kebutuhan penulis Evaluasi atas kebijakan yang pernah di laksanakan para elit politik dalam melaksanakan wewenang dan kewajibannya
  2. khususnya dalam tugas akhir dan memberi wawasan untuk para pembaca  pada umumnya
  3. Sebagai referensi untuk kegiatan akademis lain  ketika melakukan  kajian ini

BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGARUH POLITIK TERHADAP PENEGAKKAN HUKUM

Isu lain yang menarik dikaji dalam hubungan antara hukum dan politik adalah pengaruh politik terhadap penegakan hukum. Kedua topik ini kadangkala mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi. Politik merupakan ranah kekuasaan, kekuasaan itu bersumber dari wewenang formal yang diberikan oleh hukum. Hukum adalah naorma sosial yang mempunyai sifat mendasar yaitu sifatnya yang memaksa yang membedakanya dengan norma sosial yang lain (agama, kesopanan dan susila ). Karena sifatnya yang harus dipaksakan berlakunya maka hukum memerlukan kekuasaan (politik) untuk dapat berlaku dengan efektif. Mochtar Kusumaatmadja menyimpulkan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Bahkan dalam slogan umum menggambarkan bahwa “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. 
Menurut Purnadi Purbacaraka penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan yang mantap dalam sikap tindak sebagai penjabaran nilai akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup. Penegakkan hukum merupakan konkritisi norma hukum dalam kasus nyata. Dalam proses penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terdapat empat elemen penting yang harus terlibat. Pertama, hukum atau aturan itu sendiri, Kedua Mental aparat hukum, ketiga fasilitas pelaksnaan hukum, dan kesadaran dan kepatuhan perilaku masyarakat. 
Dalam kaitannya dengan penegakkan hukum Mahfud MD mengemukakan pendapat yang hampir sama antara pengaruh politik terhadap pembentukkan hukum dengan pengaruh politik teradap penegakkan hukum. Negara dengan sistem politik yang demokratis cenderung melahirkan sistem penegakkan hukum yang efektif sedangkan, Negara dengan sistem politik yang otoriter akan melahirkan sistem penegakkan hukum yang tersendat. 
Berdasarkan landasan teoritis di atas penulis hendak menganalisis proses penegakan hukum di Indonesia dalam hubunganya dengan politik pada era reformasi. Sedikit merujuk ke belakang bahwa pada rezim orde baru menunjukan sistem politik yang tidak demokratis, ini berimplikasi pada proses penegakan hukum yang buruk. Mafia peradilan merupakan cerminan dari proses penegakan hukum selama masa itu. Apakah ada perubahan penegakkan hukum setelah bergulirnya reformasi ? dari sisi undang-undang memang banyak Undang-undang yang lahir setelah reformasi tapi belum mencerminkan substansi hukum yang memang mengandung nilai filosofis yang memuat keadilan. Undang-undang Minyak dan Gas Bumi tahun 2001 seolah menunjukan kuatnya pengaruh kepentingan asing untuk menguasai SDA Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang penambangan di hutan lindung juga “setali tiga uang” dengan UU Migas sarat dengan kepentingan asing atas SDA Indonesia dan mengabaikan kepentingan mayoritas masyarakat. 
Dari sisi perilaku penegakkan hukum masih menunjukkan sikap yang sama dengan mental penegak hukum pada zaman orde baru. Praktek mafia peradilan yang melibat aparat penegak hukum seolah menunjukan kondisi yang tersistematis. Hampir semua lini instansi penegak hukum (Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan sampai Mahkamah Agung dan advokat) terjangkit firus Mafia Peradilan. 
Di samping itu praktek diskriminasi dalam Penegakan hukum masih mewarnai penegakkan hukum di Indonesia. Bukan rahasia lagi para pejabat yang memangku jabatan tertentu sulit terjangkau oleh hukum. Praktek korupsi yang melibatkan pejabat Negara yang menjadi perhatian masyarakat seolah tidak pernah disentuh hukum. Mereka bebas menikmati uang hasil korupsinya di tengah kesengsaraan masyarakat yang hidup serba kesusahan. Kasus korupsi di KPU pusat adalah contoh bagaimana hukum itu “pandang bulu” hukum tidak bisa menyentuh pejabat Negara yang sedang memangku jabatan dan dekat dengan lingkaran kekuasaan. Bayangkan jika koruptor adalah pejabat yang tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan maka hukum akan berbicara dan segera mengadili sang koruptor. Penegakkan Hukum di Indonesia ibarat “ pisau” tajam ke atas dan tumpul ke bawah. Hukum akan tegak kalau mengahadapi masyarakat kecil dan akan lentur ketika mengahadapi pemegang kekuasaan. 
Uraian di atas menunjukkan bahwa politiklah yang akan memberi arah penegakkan hukum. Jika pemerintah memiliki kemauan politik (political will) yang baik dalam menegakkan hukum maka hukum dapat ditegakkan dengan baik. Jika penguasa tidak memiliki kemauan politik untuk menegakkan hukum, maka hukum kecil harapan untuk menegakkan hukum dengan baik. Sejatinya hubungan antara penegakan hukum dan politik menurut Sri Soemantari adalah ibarat rel dan kereta api. Relnya adalah hukum dan keretanya adalah politik. Jika kereta keluar dari relnya maka kecelakaanlah yang terjadi, jika politik keluar dari ketentuan hukum maka kehidupan politik akan  mengalami kejatuhan

B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
C. Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan  - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pembentukan hukum dan penegakan hukum ternyata sangat dipengaruhi oleh situasi politik. Politik dengan corak otoriter mempengaruhi produk hukum yang konservatif dan ortodoks dan melahirkan penegakkan hukum yang tidak baik. Sebaliknya politik yang demokratis melahirkan produk hukum responsif dan penegakan hukum yang baik. Tesis tersebut terbukti pada praktek pembentukkan dan penegakkan hukum di Indonesia. Namun demikian pada era reformasi dengan sistem pemerintahan yang lebih demokratis ternyata belum berhasil menghasilkan hukum yang mengandung nilai keadilan dan diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat. 
Pada tataran penegakan hukum juga ambivalen dengan tesis di atas. Pemerintahan yang lebih demokratis pada era reformasi belum mampu menghasilkan penegakan hukum yang baik. Praktek diskriminasi dalam penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi masih menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pengaruh intervensi politik dalam penegakan hukum menjadi hambatan besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejatinya penegakan hukum harus lepas dari intervensi kekuatan politik tertentu. Justru kekuatan politik pemerintahan yang demokratis seharusnya menjadi amunisi dalam penegakan hukum.

B.SARAN
  1. Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
  2. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.