A.LATAR
BELAKANG
Membicarakan korelasi antara hukum dan politik merupakan kajian yang menarik di
kalangan ahli hukum dan politik. Kajian ini menarik karena dua topik ini
memiliki ranah yang berbeda. Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat
sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum
adalah wilayah “hitam putih” yang salah harus dihukum, yang benar harus
dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards). Sedangkan politik adalah
ranah “kepentingan” sebagai corestone nya, “politic is a goal attainment”
politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Politik menggunakan segala cara
untuk mencapai tujuan, tak peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa
mewujudkan tujuannya maka cara itulah yang ditempuh.
Yang menarik justru antara kedua topik yang berbeda itu ternyata mempunyai
sifat yang saling mempengaruhi. Pada tataran realitas kedua topik tersebut
kadang-kadang menunjukkan bahwa hukum dapat mempengaruhi politik atau sebaliknya
politik dapat mempengaruhi hukum. Moh Mahfud MD mengemukakan tentang hal
tersebut bahwa terdapat tiga macam jawaban untuk melihat hubungan antara hukum
dan politik. Pertama, hukum merupakan determinan politik, kegiatan politik
harus tunduk pada hukum, Kedua, pandangan yang melihat bahwa politik determinan
atas hukum karena sesungguhnya hukum adalah produk politik yang sarat dengan
kepentingan dan konfigurasi politik, dan ketiga pandangan yang melihat bahwa
hukum dan politik merupakan dua elemen subsistem kemasyarakatan yang seimbang,
karena walaupun hukum merupakan produk politik maka ketika ada hukum yang
mengatur aktivitas politik maka politikpun harus tunduk pada hukum.
Ketiga macam jawaban di atas adalah bangunan teori yang dibangun berdasarkan
realitas relasi antara dua sistem tersebut. Pada kesimpulan akhir tulisanya
Mahfud MD menyimpulkan bahwa sesungguhnya politik determinan atas hukum, hukum
yang lahir merupakan cerminan konfigurasi politik. Dalam hubungan tarik menarik
antara hukum dan politik maka sesungguhnya politik mempunyai energi yang cukup
kuat untuk mempengaruhi hukum. Asumsi dasar tadi memperlihatkan bahwa dalam
konfigurasi politik yang demokratis maka yang lahir adalah produk hukum yang
responsif/populistik, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan
produk hukum yang konservatif /ortodoks dan elitis.
B. Perumusan Masalah
- Bagaimanakah perubahan itu
dapat terjadi?
- Seberapa besar pengaruh
kesepakatan para elit politik terhadap perubahan hukum di Indonesia?
C. Tujuan
- Menganalisis besarnya
pengaruh komunikasi para elit politik dalam rangka menjalani
kewajiban dan wewenamgnya dalam mengatur suatu kondisi bangsa,
terhadap dinamika hukum yang terjadi di Indonesia.
D. Manfaat
- Memenuhi kebutuhan penulis
Evaluasi atas kebijakan yang pernah di laksanakan para elit politik dalam
melaksanakan wewenang dan kewajibannya
- khususnya dalam tugas akhir dan
memberi wawasan untuk para pembaca pada umumnya
- Sebagai referensi untuk kegiatan
akademis lain ketika melakukan kajian ini
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGARUH
POLITIK TERHADAP PENEGAKKAN HUKUM
Isu lain yang menarik dikaji dalam hubungan antara hukum dan politik adalah
pengaruh politik terhadap penegakan hukum. Kedua topik ini kadangkala mempunyai
hubungan yang saling mempengaruhi. Politik merupakan ranah kekuasaan, kekuasaan
itu bersumber dari wewenang formal yang diberikan oleh hukum. Hukum adalah
naorma sosial yang mempunyai sifat mendasar yaitu sifatnya yang memaksa yang membedakanya
dengan norma sosial yang lain (agama, kesopanan dan susila ). Karena sifatnya
yang harus dipaksakan berlakunya maka hukum memerlukan kekuasaan (politik)
untuk dapat berlaku dengan efektif. Mochtar Kusumaatmadja menyimpulkan bahwa
hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya sebaliknya kekuasaan itu sendiri
ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Bahkan dalam slogan umum menggambarkan
bahwa “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman”.
Menurut Purnadi Purbacaraka penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan
yang mantap dalam sikap tindak sebagai penjabaran nilai akhir untuk menciptakan
(social engineering) dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan
hidup. Penegakkan hukum merupakan konkritisi norma hukum dalam kasus nyata.
Dalam proses penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terdapat empat elemen
penting yang harus terlibat. Pertama, hukum atau aturan itu sendiri, Kedua Mental
aparat hukum, ketiga fasilitas pelaksnaan hukum, dan kesadaran dan kepatuhan
perilaku masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penegakkan hukum Mahfud MD mengemukakan pendapat yang
hampir sama antara pengaruh politik terhadap pembentukkan hukum dengan pengaruh
politik teradap penegakkan hukum. Negara dengan sistem politik yang demokratis
cenderung melahirkan sistem penegakkan hukum yang efektif sedangkan, Negara
dengan sistem politik yang otoriter akan melahirkan sistem penegakkan hukum
yang tersendat.
Berdasarkan landasan teoritis di atas penulis hendak menganalisis proses
penegakan hukum di Indonesia dalam hubunganya dengan politik pada era
reformasi. Sedikit merujuk ke belakang bahwa pada rezim orde baru menunjukan
sistem politik yang tidak demokratis, ini berimplikasi pada proses penegakan
hukum yang buruk. Mafia peradilan merupakan cerminan dari proses penegakan
hukum selama masa itu. Apakah ada perubahan penegakkan hukum setelah
bergulirnya reformasi ? dari sisi undang-undang memang banyak Undang-undang
yang lahir setelah reformasi tapi belum mencerminkan substansi hukum yang
memang mengandung nilai filosofis yang memuat keadilan. Undang-undang Minyak
dan Gas Bumi tahun 2001 seolah menunjukan kuatnya pengaruh kepentingan asing
untuk menguasai SDA Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) tentang penambangan di hutan lindung juga “setali tiga uang” dengan UU
Migas sarat dengan kepentingan asing atas SDA Indonesia dan mengabaikan
kepentingan mayoritas masyarakat.
Dari sisi perilaku penegakkan hukum masih menunjukkan sikap yang sama dengan
mental penegak hukum pada zaman orde baru. Praktek mafia peradilan yang melibat
aparat penegak hukum seolah menunjukan kondisi yang tersistematis. Hampir semua
lini instansi penegak hukum (Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan sampai Mahkamah
Agung dan advokat) terjangkit firus Mafia Peradilan.
Di samping itu praktek diskriminasi dalam Penegakan hukum masih mewarnai
penegakkan hukum di Indonesia. Bukan rahasia lagi para pejabat yang memangku
jabatan tertentu sulit terjangkau oleh hukum. Praktek korupsi yang melibatkan
pejabat Negara yang menjadi perhatian masyarakat seolah tidak pernah disentuh
hukum. Mereka bebas menikmati uang hasil korupsinya di tengah kesengsaraan
masyarakat yang hidup serba kesusahan. Kasus korupsi di KPU pusat adalah contoh
bagaimana hukum itu “pandang bulu” hukum tidak bisa menyentuh pejabat Negara
yang sedang memangku jabatan dan dekat dengan lingkaran kekuasaan. Bayangkan
jika koruptor adalah pejabat yang tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan maka
hukum akan berbicara dan segera mengadili sang koruptor. Penegakkan Hukum di
Indonesia ibarat “ pisau” tajam ke atas dan tumpul ke bawah. Hukum akan tegak
kalau mengahadapi masyarakat kecil dan akan lentur ketika mengahadapi pemegang
kekuasaan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa politiklah yang akan memberi arah penegakkan
hukum. Jika pemerintah memiliki kemauan politik (political will) yang baik
dalam menegakkan hukum maka hukum dapat ditegakkan dengan baik. Jika penguasa
tidak memiliki kemauan politik untuk menegakkan hukum, maka hukum kecil harapan
untuk menegakkan hukum dengan baik. Sejatinya hubungan antara penegakan hukum
dan politik menurut Sri Soemantari adalah ibarat rel dan kereta api. Relnya
adalah hukum dan keretanya adalah politik. Jika kereta keluar dari relnya maka
kecelakaanlah yang terjadi, jika politik keluar dari ketentuan hukum maka
kehidupan politik akan mengalami
kejatuhan
B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar
kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk
hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan,
dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam
Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan
Peraturan Daerah.”
Kenyataan
di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan
hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan,
dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter,
maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai
dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar
dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh
pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan
diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang
dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).
Kenyataan
yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap
pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika
tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu
Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek
opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika
tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan
yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu
catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para
lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu
opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan
yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai
kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu
menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara
dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk
mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan
politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme
demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga
kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah,
kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
C. Sistem
Politik Indonesia
Untuk
memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu
dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana
kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme
pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal
penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa
prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini
adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional
serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling
mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya
sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur
utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip
due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan
serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional
mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak
hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang
diberikan konstitusi.
Dengan
prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala
bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik,
maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai
struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi
(keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling
menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang
disepakati bersama.
Dengan
sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan
politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka
paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus
sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut
aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan
masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat.
Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam
perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki
otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam
perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan
pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar
norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan
merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat
negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah
dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan
etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial
tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan
melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan
pembentukan perundangan-undangan yang baru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses
pembentukan hukum dan penegakan hukum ternyata sangat dipengaruhi oleh situasi
politik. Politik dengan corak otoriter mempengaruhi produk hukum yang
konservatif dan ortodoks dan melahirkan penegakkan hukum yang tidak baik.
Sebaliknya politik yang demokratis melahirkan produk hukum responsif dan
penegakan hukum yang baik. Tesis tersebut terbukti pada praktek pembentukkan
dan penegakkan hukum di Indonesia. Namun demikian pada era reformasi dengan
sistem pemerintahan yang lebih demokratis ternyata belum berhasil menghasilkan
hukum yang mengandung nilai keadilan dan diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pada tataran penegakan hukum juga ambivalen dengan tesis di atas. Pemerintahan
yang lebih demokratis pada era reformasi belum mampu menghasilkan penegakan
hukum yang baik. Praktek diskriminasi dalam penegakan hukum khususnya dalam
pemberantasan korupsi masih menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan dalam
penegakan hukum di Indonesia. Pengaruh intervensi politik dalam penegakan hukum
menjadi hambatan besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejatinya penegakan
hukum harus lepas dari intervensi kekuatan politik tertentu. Justru kekuatan
politik pemerintahan yang demokratis seharusnya menjadi amunisi dalam penegakan
hukum.
B.SARAN
- Memahami
hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam
kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa
yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada
bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai
hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran
positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa
yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan
berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran
ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum
Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan
rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai
pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi
serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
- Kenyataan
ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak
tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual),
sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham
positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan
hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan
oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses
pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.