A. Sejarah Singkat Hukum Perdata Yang Ada di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di
Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa
continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum
tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam
satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga
dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari
beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping
itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum
Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda
setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan
kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini
selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van
Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari
Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.
B. Sejarah Hukum Perdata
1. HUKUM PERDATA BELANDA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code
Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi
(Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua
kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur
dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de
commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813),
kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24
tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua
kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu
pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek
menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas
konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata
tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal
100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.
KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia
[1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua
Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih
merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan
pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.
Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang] – Dalam perkuliahan, kitab ini akan
disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan
diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi
pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga
kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838.
Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda,
isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De
Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari
Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam
bahasa nasional Belanda.
2. HUKUM PERDATA INDONESIA
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini
diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya
ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan
BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah
panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi
yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan
di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping
telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C.
Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda
(Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan
kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil,
sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya
sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten
van Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi
keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer
masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum
berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten
van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither
dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil
mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai
KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi
KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal
30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan
UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum
digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar
ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata
Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang
berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di
Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya
berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa
Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat
dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah
diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik,
Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk golongan
Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S.
Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa &
yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah
formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia,
berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang
membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu
materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan
Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia serta tidak
sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan
pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka,
maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia
merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RI pada
saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesia
sebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani
oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan
yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.
4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun
1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada
semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran
tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam
KUHPdt. antara lain pasal berikut :
1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan
perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau
bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi
perbedaan antara semua WNI.
2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar
perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak
tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak,
sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa
barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan
mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada
watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu
perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini
didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah
memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat
gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena
tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar
hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang
menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual.
Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan
barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini,
maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya
pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah
dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua
belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara
orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai
perjanjian perburuhan
5. HUKUM PERDATA NASIONAL
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan
diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia
meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum
perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang
berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis.
BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan
Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum
perdata dikatakan nasional, yaitu :
Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian
sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat yang
sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah
diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat diambil alih
dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum perdata
barat, juga hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian
rupa sehingga mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh
seluruh rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum
perdata nasional. Untuk mengetahui hal ini tentunya dilakuan penelitian
lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR
No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, terutama
pembangunan di bidang hukum antara lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum
nasional didasarkan pada hukum yang hidup didalam masyarakat . Hukum
yang hidup dalam masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata
barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata
tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.
Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional harus
didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya adalah konsepsi
tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota
masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila maka
sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai
budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar
diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai
budaya Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi
peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia.
Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata barat.
Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi & peraturan
hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum perdata nasional
bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem nilai budaya
Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang
diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.
Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia. Hukum perdata
nasional harus produk hukum pembuat Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD
1945 pembuat Undang-Undang adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5
ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan &
pembentukan hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat
diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan
dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk kondifikasi.
Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus produk
hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.
Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional harus
berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa
memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah pendukung hak dan
kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaitu
Indonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI berarti
menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat
diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum
tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam
masyarakat.
Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional harus
berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia adalah wilayah
negara RI termasuk perwakilan Indonesia di luar negeri. Keberlakuan
hukum perdata nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah Indonesia
merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem nilai
budaya Pancasila terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan
Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.
C. Pengertian & Keadaan Hukum di Indonesia
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di
dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum
privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang
memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam
masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang
lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang
artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana
caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat
majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara
lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
- Golongan eropa
- Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
- Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)
Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa
atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang
mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum
kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di
Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada
pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
- Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
- Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
- Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
- Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
- Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.
D. Sistematika Hukum Perdata
Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
a. Dari pemberlaku undang-undang
Buku I : Berisi mengenai orang
Buku II : Berisi tentanng hal benda
Buku III : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa
b. Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.
II. Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu
perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami
istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.
III. Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan
uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat
terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
- hak seseorang pengarang atau karangannya
- hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.
IV. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia.
Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan
keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
E. Kodifikasi & Sistematika Hukum
1. Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu dapat
dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa dan dapat pula
dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan, hukum
perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata negara.
Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa, maka
Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih
memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu,
mis. PP, PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat
dilaksanakan tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-Undang &
peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle peraturan
perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan
peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan
peraturan perkawinan, himpunan peraturan. Apabila Undang-Undang dibuat
dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi adalah :
- meliputi bidang hukum tertentu
- tersusun secara sistematis
- memuat materi yang lengkap
- penerapannya memberikan penyelesaian tuntas
Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah
terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum
acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang
dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya disusun secara
berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum kepada
bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi antara
pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkap ,
artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan penyelesaian tuntas ,
artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana semua ketentuan
langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi berasal dari kata
COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi artinya
penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab Undang-Undang
yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas. Contoh kodifikasi
ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koophandel,Failissement
Verordening, Wetboek van Strafecht.
2. Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur
secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur
dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi.
Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi.
Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan
bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
- kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
- tiap buku tersusun atas bab – bab
- tiap bab tersusun atas bagian – bagian
- tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
- tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi
berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam yaitu
menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan hukum.
Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi
sebagai berikut :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai benda
III. kelompok nateri mengenai perikatan
IV. kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai keluarga
III. kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV. kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
I. Buku I mengenai Orang
II. Buku II mengenai Benda
III. Buku II mengenai Perikatan
IV. Buku IV mengenai Pembuktian
SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt.
Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan
ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang
penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme
sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan
tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap
individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu
pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia
yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah
hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan sistematika
tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I. Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan keluarga
(perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan mengenai
pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.
II. Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris. Sedangkan
ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan segala
akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan
ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang
meliputi benda dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa.
Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan,
sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal (hukum
acara perdata).