Perdebatan Positivisme Vs Post Positivisme Dalam Teori-Teori Sosial
Perbedaan frame work
 dan metodologi dalam menafsirkan realitas sosial sebagai sumber dan 
sekaligus objek dari ilmu pengetahun telah menimbulkan perdebatan 
panjang di antara ahli-ahli ilmu sosial-politik. Perdebatan-perdebatan 
tersebut dimualai dengan perbedaan dalam memberikan jawaban atas 
pertanyaan-pertanyaan metodologis dan epistimologis. Bagaimana realitas 
itu terbentuk? Apakah ilmu pengetahuan itu syarat akan bebas nilai atau 
tidak? Apakah ilmu pengetahuan itu objektif atau subjektif? Apakah 
terdapat jarak antara peneliti dengan objek yang diteliti? Dan lain 
sebagainya. Sehingga dari perdebatan panjang itu memunculkan dua mazab 
pemikiran besar yang mendominasi kajian ilmu-ilmu sosial, yaitu mahzab 
positivisme dan mahzab post positivisme.
Premis
 utama dalam mahzab positivisme adalah bahwa realitas itu pada dasarnya 
bersifat objektif, tidak ada dikotomi tampilan (fakta)/ realitas, dan 
bahwa dunia adalah wujud yang real dalam artian tidak dikontruksikan 
secara sosial (Marsh 2010; 26). Dengan kata lain, realitas yang ada itu 
eksis bukan karena hasil dari kontruksi sosial, akan tetapi dibentuk 
oleh hukum sebab-akibat sehingga memposisikan peneliti dan objek 
yang diteliti pada kondisi objektivisme dalam artian terdapat jarak di 
antara hubungan keduanya. Para ilmuan sosial yang datang berikutnya yang
 disebut mahzab post positivisme, mengkritik keras pandangan positivisme
 di atas. Menurut mahzab post positivisme “fakta” itu sejauh menyangkut 
masyarakat dan manusia bukan hanya realitas yang ada sekarang, melainkan
 juga punya hubungan dengan masa lampau dan masa yang akan datang. 
Menurut F. Budi Hardiman masa lalu dan masa depan membentuk fakta itu 
untuk hadir pada keadaan sekarang. Artinya, terdapat proses pembentukan 
realitas yang telah dimulai sejak masa lampau, sedang berlangsung, dan 
menuju kemasa depan yang tertentu (Hardiman 2003; 17). 
Perdebatan-perdebatan dalam ilmu-ilmu sosial yang didominasi ke dua 
mahzab pemikiran tersebut memiliki imbas yang cukup signifikan dalam 
kehidupan manusia, baik dalam hal pembangunan sosial-politik, ekonomi 
dunia, maupun dalam pembangunan sosial kemasyarakatan di dunia ketiga.
Dalam
 penugasan penulisan makalah kali ini, penulis akan mengangkat 
perdebatan atara positivisme dan post positivisme dalam persoalan 
teori-teori sosial. Dalam sistematika penulisannya akan diawali dengan  
latar belakang pemikiran dari tema tulisan ini, yang memberikan 
prawacana dari isi tulisan yang disajikan sebagaimana yang telah 
diuraikan di atas. Pembahasan selanjutnya mengkaji persoalan idiologis 
dari masing-masing mahzab pemikiran yang mendominasi kajian ilmu-ilmu 
sosial, bembahasan idiologi ini penting karena akan mengantarkan 
sekaligus memudahkan kita dalam memahami pembahasan selanjutnya. 
Positivisme Vs Post Positivisme: Sebuah Kritik dan Pembaharuan dalam Metodologi
Geneologi
 pemikiran positivisme pada awalnya, khususnya ketika ia mempengaruhi 
studi ilmu politik saat ini, diketemukan dalam karya David Hume Treatise of Human Nature,
 ia mengatakan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman adalah 
bersifat objektif dan pernyataan-pernyataan secara faktual akan 
mempunyai makna manakala diverifikasi melalui pengamatan empiris. 
Gagasan ini kemudian menjadi terkait dengan positivisme logis. Dan 
akhirnya memberikan landasan epistimologis bagi ilmu prilaku kontemporer
 (Chilcote 2010; 89). Kemudian positivisme mendapatkan posisi puncaknya 
pada positivisme Aguste Comte, yang bersama-sama dengan Saint Simon, 
terlibat dalam pembentukan satu ilmu baru tentang masyarakat. Comte 
membangun suatu sistem yang didasarkan pada tiga tahapan pemikiran 
filosofis, teologis, metafisis, dan positivis. Dalam tahap ketiga orang 
dapat mengamati dan memahami fakta-fakta dengan kepastian empiris 
(Chilcote 2010; 89). Lebih lanjut menurut Jonathan Turner, positivisme 
Comte menekankan bahwa semesta sosial menerima perkembangan hukum-hukum 
abstrak yang dapat diuji melalui pengumpulan data yang hati-hati, dan 
hukum abstrak itu dapat menunjukkan kandungan mendasar dan umum dari 
semesta sosial, dan akan menspesifikasikan ‘relasi naturalnya’ (Ritzer 
2005; 20)
Kemunculan positivisme sejak abad ke-19 menurut F. Budi Hardiman (2003; 54) pada dasarnya merupakan peruncingan trend
 sejarah pemikiran Barat modern yang telah menyingsing sejak ambruknya 
tatanan dunia Pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. 
Positivisme hadir dengan fokus perhatiannya pada metodologi ilmu 
pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat 
menitikberatkan metodologi dalam merefleksikan filsafatnya.
Jika
 dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih merefleksikan, dalam
 positifisme kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi, dan 
satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak Renaissance, dan subur pada masa Aufklarung
 adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh sebab itu, positivisme 
menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi 
wilayah refleksi epistimologi, yaitu pengetahuan manusia tentang 
kenyataan, beralih pada ilmu-ilmu sosial (Hardiman 2003; 54-55). Menurut
 F. Budi Hardiman pandangan mahzab positivisme menyakini bahwa kalau 
pendekatan ilmu alam, yang mengedepankan empiris-obyektif, deduktif 
 nomologis(kausalitas), dan intrumentral-bebas nilai, telah sukses dalam
 menjelaskan gejala-gejala alam dan berhasil menciptakan 
teknologi-teknologi yang canggih di Abad Moderen, pasti sukses yang sama
 juga akan didapatkan jika pendekatan yang sama digunkan untuk mengkaji 
realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Dari
 penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kalangan ilmuan positivistis 
yang dipopulerkan oleh Comte, Ernst Mach dan diteruskan oleh para ilmuan
 yang disebut neo-positivisme yang hidup di abad ke-20 seolah-olah telah
 menyamakan objek kajian ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, 
meskipun secara empiris berbeda. Dimana manusia sebagai objek ilmu-ilmu 
sosial selalu mengalami perubahan yang cukup dinamis, sedangkan objeka 
ilmu-ilmu alam adalah benda yang mati dalam artian tidak berkembang 
secara dinamis sebagaimana manusia. Ini sama halnya dengan menganggap 
manusia tidak lebih dari sekedar tikus putih, asam amino, sel dan lain 
sebagainya, yang dapat dijadikan percobaan demi ilmu pengetahuan.
Lebih
 lanjut mahzab positivisme dengan mengkuantifikasi data dan mencapai 
perumusan deduktif-nomologis, ingin menjadikan ilmu-ilmu sosial yang 
tidak sekadar sebagai ilmu yang murni untuk kemajuan ilmu pengetahuan, 
akan tetapi ilmu yang bisa meramalkan dan mengendalikan proses-prose 
sosial, sebagaimana semboyan Comte, savoir pour prevoir 
(mengetahui untuk meramalkan). Dengan cara ini, ilmu pengetahuan 
diharapkan dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional 
(Hardiman 2003; 23). Lebih tajam lagi dengan positivisnya, Comte 
bermaksud untuk memberi pembedaan yang jelas mana yang jelas, mana yang 
kabur dan mana berguna, mana yang sia-sia. Atau dengan kata lain 
pembedaan ditunjukkan untuk mengetahui antara yang bersifat transenden 
dan mana yang bersifat profan dalam kehidupan manusia.
Dari
 berbagai prinsip (bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, dan 
instrumen-instrumen bebas nilai) dan metodologi dalam kajian ilmu alam 
yang digunakan untuk mengkaji ilmu-ilmu sosial sebagaimana dijelaskan di
 atas, dapat diperjelas lagi ke dalam beberapa kesimpulan, sebagaimana 
yang dijelaskan Anthony Gidden sebagai berikut (Hardiman 2003; 57):
Pertama,
 prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan 
pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan 
maupun kehendak dari peneliti, tidak akan mengganggu objek yang 
diobservasi, yaitu tindakan sosial masyarakat. Melalui cara ini, objek 
kajian ilmu-ilmu sosial menempati posisi yang sama dengan objek kajian 
ilmu-ilmu alam.
Kedua, hasil-hasil dari riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial.
Ketiga,
 ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menjadikan 
pengetahuan murni bersifat instrumental. Pengetahuan itu harus dapat 
dipakai untuk kepentingan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga
 tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu
 alam, bersifat bebas nilai (value-free).
Dari
 pengandaian yang dilakukan oleh mahzab positivisme sebagaimana 
dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpuan bahwa pada dasarnya ilmuan 
positivistik ingin mendudukkan metodologi yang ada dalam kajian 
ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, yang termasuk di dalamnya kajian 
ilmu politik. Selain itu, dalam tataran metodologis positivisme telah 
melakukan kostruksi sosial kehidupan masyarakat menurut kontrol atas 
alam yang setatis. 
Dalam
 perkembangannya, pengunaan metodologi oleh mahzab positivisme dalam 
mengkaji ilmu-ilmu sosial yang menggunakan metodologi dan pendekatan 
ilmu alam mendapatkan kritiknya yang tajam dari pemikir-pemikir sosial 
yang datang berikutnya. Terlebih kritiknya diarahkan pada pandangan 
positivisme yang melihat objek kajian ilmu sosial-politik, yaitu 
masyarakat dan individu sebagai mahluk sosial dan mahluk historis, 
seolah tidak memiliki keteraturan dan dinamisasi dalam perkembangannya 
sebagaimana objek ilmu-ilmu alam, dan lebih-lebih tidak berbeda dengan 
objek ilmu alam.
Dalam
 pandangan para ilmuan, yang datang pada awal paroh ke dua abad ke-20 
yang disebut sebagai mahzab post positivisme , terdapat banyak 
permasalah dalam ilmu-ilmu sosial yang dihasilkan dari metodologi yang 
diguanakan oleh mahzab positivisme tersebut. Permasalahannya bukan hanya
 bagi ilmu pengetahuan, melainkan juga bagi kemanusian. Masalahnya bukan
 hanya sekedar epistimologis, metodologis, melainkan juga sosial dan 
praktis (Hardiman; 2003: 23).
Sekelompok
 ilmuan sosial yang berbaris di urutan paling depan untuk memberikan 
kritikan sekaligus mendekontruksi atas apa yang dilakukan mahzab 
positivisme adalah mereka yang menamakan diri sebagai Frankfrut School
 (mahzab frankfrut), yang dipelopori oleh Horkhimer, Adorno, dan Marcuse
 serta dilanjutkan oleh Jurgen Habermas sebagai generasi berikutnya. 
Ketiga tokoh utama yang ada diurutan awal dari Frankfrut School 
tersebut berpendapat bahwa positivisme bermasalah, karena pandangan 
mereka tentang penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial 
yang tak lain dari saintisme atau ideologi. Pembuktian mereka 
sebagaimana dijelaskan F. Budi Hardiman (2003; 24) dalam bukunya Melampaui Positivisme dan Modernitas bahwa
 pengandaian-pengandaian tersebut di atas (netral, bebas nilai, dan 
seterusnya) dan dengan hanya “mengkontemplasikan” masyarakat, 
positivisme melestarikan status quo konfigurasi masyarakat yang ada.
Lebih
 lanjut, dalam pandangan mereka seharusnya pengetahuan diorientasikan 
untuk mengungkap pengetahuan tentang apa yang seharusnya ada (das Sollen) dan bukan mengungkap pengetahuan tentang apa yang ada (das Sein)
 sebagaiman yang dilakukan oleh positivisme. Dengan apa yang dilakukan 
oleh ilmuan positivisme, bagi mereka hanyalah menjadikan pengetahuan 
tidak dapat mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. 
Kemudian, mereka menunjukkan bahwa pengetahuan semacam itu pada 
gilirannya juga dipakai untuk membuat rekayasa sosial, menangani 
masyarakat sebagai perkara teknis seperti menangani alam (Hardiman 2003;
 24). Menurut Hardiman kritik yang dilakukan oleh mereka meskipun 
kelihatan tajam, akan tetapi masih berdiri dalam tataran yang berbau 
moralis, belum sampai pada kritik epistimologis. Baru pada generasi 
kedua dari Frankfrut School yaitu pada Habermas persoalan ini ditunjukkan secara epistimologis.
Dalam
 menyelesaikan permasalahan-permasalahan positivisme yang dihadapi oleh 
teori-teori kritis, Habermas memberikan dua paradigma dalam ilmu-ilmu 
yang juga dapat memberikan perspektif kita tentang dua paradigma 
penelitian: ilmu-ilmu alam beserta seluruh penelitiannya bekerja dengan 
“paradigma kerja”, sedangkan ilmu-ilmu sosial beserta seluruh 
penelitiannya bekerja dengan “paradigma komunikasi” (Hardiman 2003; 30).
 Dari sini dapat dipahami bahwa Habermas dalam menggali ilmu 
pengetahuan, ia membedakan antara dunia alamiah dan dunia sosial. Dimana
 dalam dunia alamiah terdapat orientasi kerja, artinya ada keterkaitan 
antara teori dengan praksis. Oleh karena itu seorang peneliti ilmu-ilmu 
alam harus bisa menyingkirkan berbagai subjektifitasnya sebagai seorang 
peneliti. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya ilmu 
politik memiliki persinggungan atau adanya komunikasi antara 
simbol-simbol kehidupan sosial-budaya termasuk simbol kepentingan yang 
menjadikannya bersifat subjektif. Hal inilah yang menjadikan tidak 
sesuainya penerapan pendekatan-pendekatan ilmu alam terhadap kajian ilmu
 sosial, yang memiliki orientasi sendiri dan berbeda dengan ilmu alam.
Lebih
 lanjut Habermas mengungkapkan bahwa semua proses dalam penelitian 
ilmiah ini didorong oleh suatu kepentingan kognitif tertentu yang 
disebutnya “kepentingan teknis”. Hanya jika ada kepentingan teknis untuk
 mengontrol proses-proses alamiah demi kelangsungan hidup manusia 
sebagai spesies,  proses penelitian dapat dilangsungkan. Dalam proses 
penelitian itu, seorang ilmuwan harus tendakan-tindakan tertentu yang 
sangat sepesifik untuk penelitian dalam wilayah kedua ini, yaitu 
tindakan-tindakan instrumental. Tindakan ini bersifat kontrol dan 
manipulatif, yang berorientasi mencapai sukses dalam mengantisipasi, 
mengarahkan, meramalkan, mengoperasikan proses-proses alamiah itu secara
 teknis. Tindakan instrumental ini disebut praksis, yakni praksis kerja 
(Hardiman 2003; 28). Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial memerlukan 
pendekatan yang spesifik berbeda. Dunia sosial yang memuat objek-objek 
dan struktur-struktur simbolik yang saling berkomunikasi sebagaimana 
dijelaskan di atas, tak dapat dimasuki dengan distansi penuh atau 
menghadapinya sebagai objek manipulasi belaka. Dalam proses komunikasi 
antara struktur simbol tersebut terdapat hubungan timbal balik di antara
 keduanya, yang menjadikan inter-subjektifitas dalam ilmu-ilmu sosial 
terlebih ilmu politik tak terelakkan lagi adanya, karena syarat 
terselubung kepentingan.
Kemudian kritik terhadap positivisme juga muncul dari kalangan pemikir post-strukturalisme, yang
 juga dapat digolongkan ke dalam mahzab besar post positivisme. Salah 
satu di antaranya, adalah Michel Foucault yang menyumbangkan  teori ilmu
 pengetahuan yang cukup berharga tentang relasi pengetahuan dengan 
kekuasaan yang merupakan upaya pembacaannya atas modernitas. 
Bagi
 Foucault dalam ilmu pengetahuan modern (masa positivisme), manusia 
muncul dalam posisi yang ambigu sebagai objek ilmu pengetahuan dan 
sekaligus sebagai subjek yang mengetahui: diperbudak yang berkuasa, 
diperhatikan penonton, manusia muncul dikuasai penguasa (Ritzer 2009; 
77). Kalau kita pahami terhadap apa yang di katakan Foucault tersebut, 
menunjukkan bahwa tidak mukin objektivatas dalam ilmu sosial itu ada, 
karena dalam ilmu pengetahuan sosial selalu ada relasi kuasa yang 
terselubung di dalamnya. Hal inilah yang dibaikan oleh positivisme.
Foucault
 menolak ide ilmu pengetahuan yang dikejar demi pengetahuan atau demi 
kepentingan sendiri, bukan untuk kepentingan kekuasaan, sebagaimana yang
 diasumsikan oleh kaum positivis. Sain adalah contoh ranah yang 
dilibatkan untuk membedakan yang benar dari yang palsu. Dalam membuat 
perbedaan semacam ini, ranah keilmuan secara implisit menyingkirkan 
kandungan ilmu pengetahuan alternatif seperti yang “palsu”. Dalam hal 
ini, kehindak untuk kebenaran diasosiasikan dengan kehendak mencapai 
hegemoni atas ranah yang lain (Ritzer 2009; 79)
Lebih
 lanjut dalam geneologi kekuasaan, Foucault membahas bagaimana orang 
mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Di 
antaranya, ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan 
mengangkat orang lain  menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek 
dengan pengetahuan. Ia mengkritik penyusunan pengetahuan secara 
bertingkat (heirarkis pengetahuan). Karena bentuk tingkatan tertinggi 
pengetahuan (ilmu pengetahuan) mempunyai kekuasaan terbesar, maka ilmu 
pengetahuan dikhususkan untuk dikritik paling keras (Ritzer 2005; 612)
Dari
 pandangan Foucault di atas, dapat dipahami lebih lanjut bahwa ia 
mengandaikan dalam menggali ilmu pengetahuan tak ubahnya dengan 
seseorang yang mempunyai keinginan untuk mencapai kekuasan. Pandangan 
positivisme yang mengandaikan adanya objektifisme, bebas nialai dan 
lain-lain adalah hal yang sulit terjadi dalam kajian ilmu-ilmu sosial. 
Karena bagi Foucault relasi kekuasaan itu selalu hadir pada seluruh 
kehidupan manusia, yang tidak memungkin di dalamnya netralitas 
kepentingan atas kekuasaan tidak ada.
Lebih lanjut Foucault sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2009; 94) dalam Teori Sosial Postmodern dalam
 terma yang lebih sepesifik geneologi kekuasaan, mengupas bahwa 
kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung berdampak pada yang lain;
 tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan bidang ilmu pengetahuan,
 sebaliknya, pada saat yang sama, tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak 
mengisyaratkan dan merupakan hubungan kekuasaan.
Dari
 pandangan-pandangan tokoh-tokoh sentral post positivisme di atas, dapat
 diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya mahzab post positivis hadir 
untuk menelanjangi sekaligus membedah kesalahan-kesalahan yang dilakukan
 positivisme. Di antara usahanya adalah mendudukkan atau mengembalikan 
ilmu-ilmu sosial pada posisi yang lebih humanism dalam artian 
memanusiakan manusia yang memang seharusnya demikian, melalui 
pembentukan atau pembaharuan dalam metodologi penelitian yang digunakan 
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.[]
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
give your coument