SOSIOLOGI HUKUM
Bab I Pengantar
Pendekatan hukum positivistik, normatif, legalislitik, formalistik.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan morma yang harus
dipahami dengan meanganilis teks atau bunyi undang-undang atau peraturan yang
tertulis. Dalam rangka mempelajari teks-teks normatif tersebut maka yang
menjadi sangat penting untuk menggunakan logika hukum (legal reasoning) yang dibangan atas dasar asas-asas, dogma-dogma,
doktrin-doktrin, dan prinsip-prinsip hukum terutama yang berlaku secara
universal dalam hukum (modern).
Dalam kenyataannya pendekaan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena
tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama
ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis.
Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh
berlaku diskriminiatif atau equality
before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah
harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan
sebagainya, namun kenyataannya terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.
Pendekatan Hukum Empiris, Sosiologis, Realisme, Konteks Sosial
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas
dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai teks dalam
undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang
menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi
secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya
dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam
rangka seaching for the meaning.
Pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai fenomena hukum yang
ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek-praktek hukum
yang tidak sesuai dengan aturan normative, disparitas hukum, terjadinya deviant behavior, anomaly hukum, ketidakpatuhan (disobedience),
pembangkangan hukum, violent,
kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah dijelaskan melalui pendekatan ini.
Perbandingan dua model pendekatan
hukum
Aspek
|
Hukum Positivis analitis (Jurisprudential)
|
Model Sosiologis
|
Fokus
|
Peraturan
|
Struktur Sosial
|
Proses
|
Logika
|
Perilaku (behavior)
|
Lingkup
|
Universal
|
Variabel
|
Perspektif
|
Pelaku (Participant)
|
Pengamat (Observer)
|
Tujuan
|
Praktis
|
Ilmiah
|
Sasaran
|
Keputusan (Decission)
|
Penejelasan (Expalanation)
|
Sumber : Donald Black. Sociological
Justice, 1989 : 21.
Menuju pendekatan hukum yang holistik dan visoner.
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya
diperlukanm adanya pergeseran paradigma (paradigm
shift) dimana kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara sinergis dan
komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah
satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat
dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif.
Pendekatan hukum yang positistik saja akan menyebabkan hukum akan
teralienasi dari basis sosial dimana dimana hukum itu berada. Pendekatan ini
semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu
tujuan hukum.
Sebaliknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial
saja akan menyebabkan seolah-oleh hukum tertulis menjadi tidak diperlukan
tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai
sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan
terjadinya ketidakpastian hokum bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi
adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme
hukum.
Positivisme Hukum
·
Berkembang pesat pada abd IX sejalan dengan tumbuhnya
konsep Negara-negara modern
·
Siostem trias politika yang membagi kekuasaan Negara menjadi
tiga dan kekuasaan legislative memproduksi hukum sebanyak mungkin
·
Gerakan
liberalisme yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu melalui hukum
tertulis
·
Munculnya tokoh
pemikir gerarakan positivisme seperti
·
H.L.A Hart
1)
Undang-undang
adalah perintah manusia
2) Todak perlu ada hubungan
hukum dengan moral
3)
Sistem hukum
adalah logis dan terutup
4) Penilaian moral tidak
dapat diberikan atau dipertahankan
5) Esensi hukum terletak
pada adanya penggunaan paksaan
·
Lon Fuller :
ada 8 (delapan) prinsip yang harus diperhatikan dalan substansi hukum positip
·
John Austin : Hukum adalah perintah
kekuasaan politik yang berdaulat.
·
Hans Kelsen : Teori Hukum Murni, dan teori Stufenbau.
Paham Positivisme di Indonesia berkembang karena :
1.
Pendidikan
hukum di Indonesia lebih mengarahkan kepada tujuan untuk menciptakan sarjana
Hukum yang profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang
untuk menerapkan à bagaimana menciptakan SH yang handal
dalam profesi hukum, seolah-olah hukum di dominasi Undang-undang à
normatik, sehingga realitas hukum dianggap realtif tidak penting.
|
|
|
|
||||
|
|
Civil Law : deduktif : dibuat aturan yang umum
yang dibuat untuk menyelesaikan kasus. Jadi hukumnya sama meski kebutuhan
masyarakat berbeda-beda dan asumsinya UU pasti sudah bagus.
2.
Pendidikan
di Indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti civil law
Hukum adalah sesuatu yang sudah ada dalam UU atau perturan
tertulis, sehingga sumber hukum hanyalah undang-undang dan di luar itu tidak
ada hukum. Hal tak lepas dari sistem hukum Belanda yang dibawa
colonial masuk ke Indonesia dengan psrinisp konkordansi. Asumsinya
undang-undang tidak boleh diprotes, UU dianggap sudah baik karena pembentuk
hukum sudah merancangh dengan sungguh-sungguh.
-
Civil
law cenderung empiris / induktifnya
tidak digunakan
-
Lobus de droit : hakim adalah mulut undang-undang
karena hakim dalam menentukan putusan sudah ditentukan oleh undang-undang,
sehingga penemuan-penemuan hukum menjadi miskin
3.
Pendidikan
hukum di Indonesia lebih banyak mengajarkan pada fisiologi hukum tapi kurang
mengajarkan pada patologi hukum. Kebanyakan yang diajarkan hanya asas-asas dan
norma hukum substantive, tetapi ilmu penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga
kita tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan dalam bekerjanya hukum,
padahal hal itu menjadi penting untuk meberikan terapi bagi penyakit hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo
Ada tiga penyebab
sarjana hukum Indonesia menganut positifisme :
1. tidak
banyak melakukan penelitian hukum di
lapangan
2. tidak
banyak melakukan kritik-kritik terhadap hukum
3.
beranggapan
sistem hukum tidak bisa dirubah
Perkembangan Ke
Arah Ilmu Hukum Sosiologis
Memasuki Abad XX mulai muncul pemikiran untuk meberikan penjelasan lebih
baik terhadap hekakekat hukum dan tempat hukum dalam masyarakat. Ketidakpuasan
terhadap positifisme kian berekembang karena paham tersebut acapkali tidak
sesuai dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk “melawan”
positifisme. Hal itu
tampak dari fenomena yang disebut:
1.
Donald Black à The
age of sociology
2. Morton White à The revolt against formalisme
3. Alan Hunt à The
sociological movement in law.
Keadilan kadang sulit terungkap. Jika
berhadapan dengan formalisme, dimana hakim
dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si
pelaku bersalah.
Menurut Gustav Radbruh : hukum harus
mengandung tiga nilai idealitas :
1. Kepastian à
yuridis
2. Keadilan à
Filosofis
3. Kemanfaatan à
Sosiologis
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada
3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan
terhadap praktek-praktek hukum
2.
Menguji empirical validity dari
peraturan/pernyataan dan hukum
3.
Tidak melakukan penilaian terhadap
perilaku hukum à sebagai
tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu
sama dengan law as it is in society,
namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.
Pohon Ilmu Hukum
Bab II Bekerjanya Hukum
TEORI BEKERJANYA HUKUM
(Robert B. Seidman, 1972)
Faktor-faktor sosial
dan
Personal lainnya
Lembaga
Pembuat
Peraturan
Umpan Balik
Norma
Umpan Balik Norma
Lembaga Aktivitas
Penerap Penerapan
Peraturan
Faktor-faktor Sosial dan Faktor-faktor Sosial dan
Personal Lainnya Personal Lainnya
Dari bagan
tersebut dapat dijelaskan
bahwa :
a) Setiap
peraturan hukum memberitahu
tentang bagaiman seorang
pemegang peranan (role occupant) itu
diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu
akan bertindak sebagai
respons terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi-peraturan-peraturan yang ditujukan
kepadanya, sanksi-sanksinya,
aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana
serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
b) Bagaimana
lembaga-lembaga pelaksana itu akan
bertindak sebagai respons terhadap
peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum
yang ditujukan kepada
mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan
kompleks kekuatan sosial,
politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka
serta umpan balik yang datang
dari pemegang peranan.
c) Bagaimana
para pembuat undang-undang itu akan
bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks
kekuatan sosial, politik, ideologis dan
lain-lainnya yang mengenai diri mereka
serta umpan balik yang datang
dari pemegang peran serta
birokrasi.
HUKUM SEBAGAI SUB SISTEM SOSIAL
Menurut teori sibenertika Talcoot Parson suatu sistem social pada hakekatnya merupakan suatu
sinergi antara berbagai sub sistem social yang saling mengalami ketergantuangan
dan keterkaitan sau dengan yang lain.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan,
interaksi dan saling ketergantungan.
Hukum
Sosial politik
Ekonomi budaya
Hukum dan politik saling dominan untuk menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer dalam konfigurasinya.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial hukum menjadi hal yang berpengaruh.
Slah satu sistem yang dominan
akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi
hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Perbandingan Karakteristik
Karakteristik
|
Hk. Sosiologi |
Sosiologi Hukum |
1. Ilmu Induk
|
1. Ilmu
|
1. Sosiologi
|
2. Sifat kajian
|
2. Hub. Noramtik/logistik
|
2. Kusalitas (exprerience)
|
3. Titik tolak
|
3. Sollen (ius)
|
3. Fakta (sein)
|
4. Teori
|
4. Ajaran pandangan ttg norma
|
4. Hub. antar gejala sistem
|
5. Kedudukan Hk.
|
5. Sbg titik tolak / orientasi
|
5. Sbg. Alat uji
|
6. Obyek kajian
|
6. Norma
|
6. Perilaku
|
7. Metode prosedur
|
7. Ilmu Hukum
|
7. Sosiologi
|
8. Logika
|
8. Deduktif
|
8. Induktif
|
Bab II Obyek Sosiologi Hukum
Obyek Sosiologi Hukum
·
Beroperasinya
hukum di masyarakat ( ius operatum)
atau law in action dan pengaruh
timbal balik antara hukum dan masyarakat.
·
Dari
segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok social dan
lapisan sosial.
·
Dari
segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto:
1) Mempelajari hukum sebagai alat pengendali
sosial ( by government ).
2) Mempelajari
hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah.
3) Stratifikasi sosial dan hukum.
4) Hubungan perubahan sosial dan
perubahan hukum.
Menurut Soerjono
Soekanto :
1.
Hukum dan struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan Social Value
masyarakat.
2.
Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial
lainnya.
3.
Stratifikasi
sosial dan hukum.
4.
Hukum
dan nilai sosial budaya.
5.
Hukum
dan kekerasan.
6.
Kepastian hukum dan keadilan hukum.
7.
Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan
sosial.
BAB III
MASUKAN PEMIKIRAN SOSIOLOGI HUKUM
Analitical Yurisprudence oleh John Austin :
Melahirkan kodifikasi yang
bersifat tertutup.
Dilanjutkan Hans Kelsen dengan Teory Stuffen Baw.
Grundnorm
Hukum adalh bangunan norma-norma yang bersifat hierarkhis, (
lex superior derogat lege inferior),( lex specialis derogat lege generalis)
-melahirkan faham positifisme/ formalisme.
Historical Yurisprudensi: Von Savigny,
-Hukum adalah cermin dari jiwa rakyatnya maka muncul
istilah-sulis supreme juristex, dan hukum harus dilihat dari sosial budaya
masyarakat.
-Kekuasaan membentuk hukum ada pada rakyat maka hukum itu
ditemukan seiring dengan perkembangan masyarakat ( dari hukum sebagai sistem
masyarakat sosial masyarakatnya.
-Gerakan melawan formalisme, di Inggris tokohnya adalah
Jeremy Bentham dll.
Sosiologische Yurisprudence ( Roscoe Pound)
-Ilmu Hukum yang sosiologis
-Akan terjadi pembangkangan sosial kalau hukum dibuat tidak
berdasar pada kehidupan sosial masyarakatnya.
-Pada perkembangannya aliran ini timbullah aliran realisme
hukum (di Amerika).
Legal Realisme (Amerika)
Apa yang ada dalam kenyataan,
Tool as Social Engeenering berubah daripembentuk UU (
Legislator) , menjadi hakim.
Critical Legal Study
Movement: Gerakan Studi Hukum Kritis.
-Lahir di Harvard, muncul atas
ketidaksukaan mereka akan determinannya politik.
Contoh: dalam perang Vietnam.
-Pelopornya Roberto Mangabeira Unger
-Tema : menolak tradisi hukum
Liberal yang dominan.
Adanya ketimpangan sosial yang
diakibatkan oleh hukum.
-Elektis ( pendekatan yang tidak
konsisten)
Sintesis ( dua pendekatan yang
digunakan bersamaan).
-Membuka teori Obyektivitas hukum
( kaya kritik, dikembangkan oleh orang positifisme).
( hukum tidak bisa dipisahkan
dari politik).
-Hukum direkonstrusi kembali.
-Hukum itu dapat dinegosiasikan.
-Hukum itu subyektif, tergantung
pada politik dan kekuasaan.
-Hukum mengandung Hidden Politikal Interest.
-CLS ,menggugat keabsahan hukum.
-Mendekonstruksi hukum.
TEORI-TEORI SOSIOLOGI :
Teori-teori
hukum
Sos Hukum
Emile Durkheim
Teori-teori
sosiologis
Max Weber
Emile Durkheim oarng Perancis,
menjelaskan bahwa hkum harus dilihat dari prespektif solidaritas yang ada di
masyarakatnya.
Solidaritas mekanis ( mechanical solidarity)
Masyarakat
Solidaritas organik ( organic soidarity)
Solidaritas mekanis ( seperti mesin otomatis) berbeda dengan
solidaritas organis ( ikatan terjadi karena fungsi).
Gemeinschaaft bertype : -konsensus ( Talcott Parson) Ferdinant Tonies ( sederhana) -paguyuban ( joyo diguno)
Gesselschaaf
-simple society( kuutza)
Gesselshaaft complex society.
(
modern)
-Hukum
bersifat restitutif karena pelanggaran terhadap hukum dipersonalisasikan terhadap si korban ,
srhingga hukum melin-
ngi
kepentingan individu, hukum untuk mengganti kerugian in-
dividu (
perdata).
-conflict :
disosiasi tinggi
-patembayan
-moshav (Ricard Swartz).
Masyarakat dengan solidaritas mekanis bahwa setiap pelanggaran hukum dianggap sebagai ancaman bagi kelompoknya sehingga harus ditekan, diharapkan tidak terjadi lagi, hukumnya relatif represif pidana, artinay kalau kita hendak melihat hukum-hukum yang ada, maka harus melihat dulu susunan masyarakatnya, akan tetapi bukan berarti di masyarakat gemeinschaaft tidak ada hukum perdata, hanya hukumnya cenderung ke pidana begitu juga sebaliknya.
Jadi teorinya Richard
Swartz justru kebalikan dari teorinya Emile Durkheim.
Bab IV STRUKTUR SOSIAL
Struktur Sosial dalam masyarakat
terdiri dari :
1. Social Norm.
2. Social institution
3. Social Stratification.
4. Social Group.
Social Control maksudnya supaya semua
orang punya perilaku sesuai harapan yang menimbulkan komformitas social yaitu
pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga tercapai tujuan diberlakukannya
suatu kaidah sosial.
Kenyataannya sering terjadi kondisi-kondisi
nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau
kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada.
Kontrol social dapat
dilakukan oleh masyarakat (social control by society) maupun oleh Negara
(social control by government). Kontro oleh masyarakat melalui kaidah social
non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah social bersifat
formal.
Dunia
kenyataan dunia ideal
Das sein das sollen
Norma
Antara
ideal dan nyata
Perilaku
yang disebut conform
Kaidah sosial dan Hukum sebagai social Kontrol.
Social Control merupakan aspek
normatif dalam kehidupan sosial.
Kontrol bertujuan agar perilaku
masyarakat antar apa yang seharusnya ( nilai ideal) yang terumuskan dalam
norma.
“Donald Black”
( Social Control is Quantitatif variabel kuatitatif, tidak konstan dan tidak ajeg)
The Quantity of law varios Intime and Place: Kuantity hukum
bervariasi sesuai waktu dan tempat.
Contoh : Pasal 534
bahwa memperlihatkan alat kontrasepsi diddepan umum, dipidana.
Terjadi tarik-menarik antara
hukum dan kontrol sosial.
-Hukum menguat ketika kontrol
sosial lain melemah.
-Hukum melemah ketika kontrol
sosial menguat.
Apakah dimungkinkan sama ?
-Dapat dimungkinkan karena akan
memperkuat, namun ini dapat dikatakan
mustahil, karena hukum merupakan Ultimum Remidium, hukum sebagai alternatif
terakhir setelah kontrol sosial tidak mempan.
Richard schwartz.
-Kuutza ( kolektivisme) yang
lebih efektif adalah kontrol sosial secara internal.
-Mashar ( individualistis) yang
efektif, kontrol sosial melalui hukum.
Kaidah Sosial dan Kaidah Hukum
sulit dibedakan :
-Karena keduannya teroperasi
secara bersama dalam masyarakat.
-Ke-2nya mempunyai tujuan yang
sama, sebagai alat kontrol sosial.
-Terjadi saling tarik diantara
ke-2nya.
Leopad Pospisil
Kaidah dinamakan hukum jika
memenuhi :
( atribut of authority)
-Kaidah itu dinamakan kaidah
hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.
(atribut attention)
-Bahwa kaidah itu mempunyai
tujuan dan berlaku secara unversal.
-Kaidah berlaku secara universal
dan tidak untuk sementara waktu.
HUKUM DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan,
interaksi dan saling ketergantungan.
Hukum
Sosial politik
Ekonomi budaya
Hukum dan politik saling dominan untuk menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer dalam konfigurasinya.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial hukum menjadi hal yang berpengaruh.
Slah satu sistem yang dominan
akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi
hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Daniel S. Lev.:
Politik adalah sistem yang primer
dan hukum sebagai pengikutnya ( kehidupan negara berkembang/ negara bekas
jajahan).
Contoh : Indonesia di masa ORBA.
-ORLA Politik dominan dan hukum menyesuaikan.
-ORBA Ekonomi dan hukum alat melegitimasi ekonomi.
-Orde Refo Politik dominan dan hukum menyesuaikan, walau agenda awal reformasi untuk supremasi hukum.
Mahfud M.D.
“Hukum Produk Politik”
Pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum
Variabel bebas/ pengaruh Variabel tergantung/ tergantung.
Konfigurasi politik karakter produk hukum
Demokratis responsif/ otonom, contoh kebebasan hakim.
Non demokratis/otoriter konservatif, ortodoks. progressif
Ciri-ciri demokratis:
-Peran serta publik dalam
pembuatan kebijakan negara/ publik.
-Badan perwakilan menjalankan
fungsi dalam pembuatan kebijakan.
-Pers bebas sebagai fungsi
kontrol.
Ciri-ciri hukum yang responsif
atau otonom:
-Hukum memenuhi kebutuhan
kepentingan individu dan masyarakat.
-Proses pembuatan hukum
partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai instrumen
pelaksana kehendak rakyat.
-Interpretasi hukum dilakukan
oleh yudikatif.
Ciri-ciri konfigurasi hukum yang
otoriter :
-Pemerintah atau eksekutif
dominan.
-Badan perwakilan sebagai alat
justifikasi ( tukang stempel).
Pers yang tidak bisa bebas.
Ciri-ciri konservatif:
-Hukum untuk memenuhi visi
politik penguasa.
-Pembuatan hukum tidak
partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai legitimasi
program penguasa.
-Hukum abstrak interpretasi
penguasa sesuai dengan visi politiknya.
Hukum respresif Hukum otonom Hukum responsif
Tuj. Hukum ketertiban keabsahan kompetensi(kewenangan)
Legitimasi perlind. Masy& kebenaran keadilan
Dasar alasan prosedural substansial
Adnya negara
Peraturan2 Keras, terperin- dibuat dengan tunduk pada asas2 hukum
ci namun
lunak teliti & mengi- + kebijakan
dan mengikat kat pada yang
pembuat perat. Membuat & di-
atur.
Alasan bersifat keras, melekat secara sesuai dengan tujuan merupa-
Ad hoc,
tepat& ketat pada oto- kan perluasan dari kompeten
Tersendiri. Ritas hukum. Si legislatif tujuannya.
Diskresi Meresap dila- dibatasi oleh a- diperluas, tapi dipertanggung
Kukan sesuai turan, pengesa- jawabkan demi tujuan.
Denagn kesem- han wewenang
Patan yang ada
Pemaksaan Meluas, pemba- dikendalikan o- dicari kemungkinan, kira-kira
tasnya lunak. Leh pembatasan insentifdst yang diciptakan
hukum.
Sendiri sesuai kewajiban.
Politik Hukum berada hukum terlepas aspirasi hukum dan politik
Di bawah kekua- dari kekerasan terintegrasi menjadi satu-ke-
saan politik. Politik. Satuan
Bab V
Law and Social Changes
PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM ( SOCIAL CHANGE ).
Setiap masyarakat pasti mengalami
perubahan sosial, hanya prosesnay ada yang cepat, ada yang lambat.
Contoh: Orang Asmat beda dengan orang-orang kota.
Perubahan yang terlalu cepat, sehingga kadang hukum sulit
untuk mengikutinya.
Robert Sutterland, 4 Faktor yang menyebabkan “Social Change”:
1. Karena ada proses inovation/
pembaruan.
2. Invention : penemuan teknologi di
bidang industri, mesin dst.
3. Adaptation : adaptasi yaitu suatu
proses meniru suatu cultur, gaya yang ada di masyarakat lain.
4.
Adopsim: ikut dalam penggunaan penemuan
teknologi.
Perubahan sosial adalah perubahan
yang bersifat fundamental, mendasar, menyangkut perubahan niali sosial, pola
perilaku, juga menyangkut perubahan institusi sosial, interaksi sosial,
norma-norma sosial.
-Hubungan antara Social Change
dengan hukum:
hhukum harus mengiuti perubahan
sosial.
Hukum Social Change hukum akan merespon perubahan sosial jika ada sosial change, masalahnya hampir sebagian hukum tidak selalu bisa mengikuti perubahan sosial.
Efektivitas hukum sebagai tertib
sosial : hukum untuk sosial control.
Pengendalian Sosial, menurut S.
Rouck yaitu suatu proses/ kegiatan baik yang bersifat terencana atau tidak yang
mempunyai tujuan untuk mendidik (edukatif), mengajak (persuasif), memaksa
(represif), agar perilaku masyarakat sesuai dengan kaidah yang berlaku (
konform), sehingga hukum sebagai Agent of Stability ( hukum sbg penjaga
stabilitas). Pada suatu ketika hukumada di belakang ( tertinggal).
-Perubahan Sosial.
Adanya perubahan sosial yang
cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum sebagai Social Lag yaitu
hukum tak mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga
disorganisasi, aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada.
-Anomie yaitu suatu kondisi di
mana individu atau masyarakat tidak bisa mengukur apakah suatu perubahan
dilarang atau tidak, malanggar hukum atau tidak.
-Hukum sebagai pelopor perubahan “ Agent of Change”
Setiap perubahan sosial menuntut
perubahan hukum palin tidak ada dua institusi:
1. Lembaga Pembentuk Hukum.
2. Lembaga pelaksana Hukum.
Perubahan hukum tidak harus dimaknai perubahan UU atau bunyi
pasal.
Hukum Modern:-Hukum tidak hanya merespon perubahan sosial
yang terjadi tapi juga merespon hukum masa depan ( futuristik).
Common Law : hukum sebagai Judge Made Law.
Civil Law : yang melakukan perubahan hukum adalah Legislatif.
Lembaga Legislatif lebih berperan
sebagai politik daripada eksekutif.
Contoh Pasal 534 KUHP : mematikan
penegak hukum : secara normatif ada aturannya tapi prakteknya tidak berfungsi :
dilarang mempertontonkan alat kontrasespsi di depan umum.
Roscoe Pound berpendapat bahwa hukumm sebagai alat perubahan
sosial, sedangkan Karl Marx justru
pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan sosial tidak mungkin diciptakan
oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas
ekonomi dan teknologi.
Hukum sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan
sosial.
Menurut Von Savigny,
hukum bukan merubah konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah
dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan
sosial.
Menurut Summer, ia tdak menyetujui hukum sebagai perubah
sosial, menurutnya setiap perubahan sosial terjadi “ mores” yaitu aturan tidak
tertulis yang hidup di masyarakat.Jadi hukum hanya melegalisasi mores menjadi
hukum.
Hukum tidak sekedar produk masyarakat, tapi bisa dibentuk
oleh pembentuk hukum itu sendiri, hakim dst. Jadi hukum bukan
semata-mata tumbuh dalam masyarakat secara alami.
Menurut Roscoe Pound,
bahwa hukum sebagai alat perekayasa sosial, contoh: hakim merekayasa sosial,
terjadi di negara Common Law sedang di negara Civil Law hukum dibentu oleh para
pembentuk hukum.
Dalam konsep John Austin, hukum adalah perintah dari
kedaulatan, hukum sebagai instrumen yang melakukan/ memenuhi kebutuhan publik.
Pada UU yang baru, dimasukkan hal-hal supaya masyarakatnya
berubah, contoh: adanya pengaruh dari luar pada UU HaKI, UU Kepailitan, dengan
maksud untuk merubah perilaku orang dibidang HaKI, Kepailitan dst, karena pada
awalnya orang Indonesia tidak mempunyai budaya untuk melindungi hak kekayaan
intelektual, denagn beranggapan bahwa hal itu karunia Tuhan yang tidak perlu
dipertahankan perlindungannya. Akhirnya
dalam UU itu diberi muatan agar masyarakat mengetahui hal itu , ada
kemungkinan gagal atau mungkin berhasil dalam hal ini. Jika internalisasi
berhasil, maka akan diterima oleh masyarakat tapi jika tidak berhasil yang
terjadi “ soft development”
(perkembangan yang lunak) atau hampir tidak ada pengaruhnya terhadap
masyarakat.
Hukum sebagai sarana perubahan sosial, Law As Tool of Social
Engeenerig/ social planing.
Hukum diberi muatan nilai baru yang bertujuan untuk
mempengaruhi atau menimbulkan perubahan sosial secara terarah dan terencana.
The Process of Social Engeenering by The Law
Nilai baru
Hukum/ UU Role expectation
feed Implementasi
back
Role
performance
Social change
Cara melakukan perubahan sosial ( menurut Soerjono Soekanto)
:
1. Memberi imbalan ( reward) bagi
pemegang peran.
2.
Mermuskan tugas penegak hukum untuk
menyerasikan peran dan kaidah hukum.
3.
Mengeliminasi pengaruh negatif pihak
ke-3.
4.
Mengusahakan perubahan pada persepsi,
sikap dan pemegang peran.
1. direct change
Hukum
2 . Indirect change
Ad 1), Dengan adanya peraturan
keputusan baru maka ada perubahan nlai, pola perilaku lembaga-lembaga dst yang
seketika / langsung.
Contoh: yurisprudensi MA, hak
mewaris janda sama dengan anak kandung: mematahkan pemikiran bahwa warisan
hanya untuk yang berhubungan darah.
Contoh lain: UU No 1 tahun 1974
tentang perkawinan, bahwa syarat usia kawin di hukum Adat tidak ada juga di
hukum Islam.
Nilai Sosia adalah suatu
persepsi/ anggapan yang ada pada sebagian besar masyarakat mengenai apa yang
dianggap buruk, boleh, etis, sopan dst.
Ad 2). Indirect change : terjadi ketika hukum hanya
memfasilitasi tumbuhnya Agent of Change.
Contoh: UU No 20 tahun 2003 tentang lembaga pendidikan orang-orang yang pintar,kuat, terdidik, diharapkan bisa mendorong perubahan masyarakat mendatang. Semakin tidak terdidik sesorang, semakin sulit melakukan perubahan sosial, karena cenderung untuk curiga, tidak bisa megakses ke luar, cenderung mempertahankan status quo, tapi kalangan pendidikan justru sebaliknya yaitu cenderung progressif untuk melaukan perubahan sosial.
Menurut Chamblis & Seidman 1971 Law order and Power.
Proses pelembagaan: (1) efektifitas (2) kekuatan
menentang
Ditentukan oleh 3 penanaman unsur baru dari masyarakat.
Faktor (3)
kecepatan (jangka waktu)
Menanam unsur baru.
Ad 1) Seberapa jauh dalam
menanamkan nilai-nilai itu ke dalam perilaku masyarakat.
Ad 2) Sejauh mana resistensi
masyarakat terhadap perubahan baru jika eksistensi makin kuat maka
pelembagaannya makin berhasil.
Ad 3) Dibagi waktu yang digunakan untuk menanam unsur baru
tersebut.
Faktor yang menetukan keberhasilan pencegahan hukum/
efektifitas hukum ada 4 :
1, Pengguanaan situasi yang
dihadapi dengan baik.
2, Analisa terhadap nilai-nilai
yang ada.
3, Verifikasi hipotesa.
4, Pengukuran efek UU yang ada.
Menurut William Evans : prasarat yang menentukan keberhasilan hukum sebagai
alat perubahan sosial :
1. Apakah sumber hukum yang baru
memiliki kewenangan dalam wibawa.
2. Apakah hukum yang baru telah memiliki
dasar pembenar yang dapat dijelaskan.
3. Apakah isi hukum yang baru telah
disiarkan sedcara luas.
4. Apakah jangka waktu peralihan yang
digunakan telah dipertimbangkan dengan baik.
5. Apakah penegak hukum menunjukkan rasa
ketertarikannya terhadap UU yang baru.
6.
Apakah pengenaan sanksi menjadi efektif.
Bab VI
KEPATUHAN HUKUM
DAN KEEFEKTIFAN HUKUM
Keefektifan hukum adalah situasi
dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai
alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.
Soerjono Soekanto : 1993 : 5
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan / keefektifan
hukum:
1. Hukum/UU /peraturan.
2. Penegak hukum ( pembentuk hukum
maupun penerap hukum).
3. Sarana atau fasilitas pendukung.
4. Masyarakat
5. Budaya hukum (legal cultur).
Ad 1) Kalau hukum itu baik, maka ada kejelasannya penafsiran,
sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal.
Ad 2) Semua Capres, janji penegakan hukum, berantas KKN, tapi
persoalannya dimuali dari orang kemudian sistemnya.
Ad 3) Legal officer tidak profesional, semuanya menjadi tidak
berfungsi maksimal. Sebetulnya ke-2 unsur di atas sama fungsinya.Penegak hukum
yang baik, kalau peraturannya tidak memadai maka tidak akan berjalan dengan
baik.
Ad 4) Masyarakat ( kesadaran hukum).
Hukum
Budaya hk.
Kesadaran hukum variabel perantara yang menghubungkan hu-
Kum dengan perilaku masyarakat.
Perilaku hukum artinya satu variabel yang akan menentukan
Apakah hukum yang ada akan menjadi peri-
Laku hukum/ tidak, sehingga kesadaran hu-
Kum
menjadi faktor yang paling menentukan.
Masalahnya banyak masyaraktat
yang tidak memiliki kesadaran hukum sehingga kadang hukum hanya berhenti sampai
pengaturan saja.
Contoh : sahnya perkawinan/
syarat nikah, bagaiman ? harus sesuai ketentuan UU Perkawinan, untuk itu perlu
kesadaran hukum.
Dalam teorinya Berl Kutschinky,
kesadaran hukum yaitu variabel yang berisi 4 komponen yaitu:
1. Komponen Legal Awareness yaitu aspek
mengenai pengetahuan terhadap peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi
teori hukum menyatakan bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut
teori residu semua orang dianggap tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu,
maka perlu Legal Awareness. Contoh ketika akan melakukan kontrak, tahu dulu UU-nya.
2. Legal Acquaintances : pemahaman
hukum. Jadi orang memahami isi daripada peraturan hukum, mengetahui substansi
dari UU.
3. Legal Attitude ( sikap hukum).
Artinya kalau seseorang sudah memberikan apressiasi & memberikan sikap :
apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa ? dst.
4. Legal Behavior ( perilaku hukum),
orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah mengaplikasikan. Banyak
orang tidak tahu hukum tapi perilakunya sesuai hukum begitu juga banyak orang
tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum. Bahwa orang yang memiliki
kesadaran hukum yang rendah, misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang
tertinggi skor 7-10 dst.Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat
ketentuan berikutnya.Hal yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi sarat.
Asumsinya hal di atas dalam keadaan normal
ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan, pendidikan hukum dst.
Mengapa orang patuh pada hukum?
Menurut Robert
Biersted, 1970, The Social Order, Tokyo: Mac Graw Hill Kogakusha Ltd,
p. 227-229.
Proses kepatuhan seseorang
terhadap hukum kemungkinan adalah:
1.Indoctrination: penanaman
kepatuhan secara sengaja.
2.Habituation : pembiasaan
perilaku.
3.Utility ;pemanfaatan dari
kaidah yang dipatuhi.
4.Group Indentification: mengidentifikasikan dalam kelompok
tertentu.
Menurut Herbert C.
Kelman 1966, Compliance, identification.
Leopold Pospisil 1971, Antropology of Law, Dasar-dasar
Kepatuhan Hukum:
1. Compliance : patuh hukum karena ingin
dapat penghargaan dan menghindari sanksi.
2. Identification : menerima karena
seseorang berkehendak.
3. Internalization : menerima/ diterima
oleh individu karena telah menemukan isi yag instrinsik.
Menurut ( E.
Howard& R.S. Summer 1965):
Faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum:
1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran
hukum itu dilihat/ disidik. Makin mudah makin efektif.Contoh :Pelanggaran
narkoba (hukum pidana) lebih mudah dari pada pelanggaran hak asasi
manusia(HAM).
2. Siapakah yang bertanggung jawab
menegakkan hukum yang bersangkutan. Contoh narkoba: tanggung jawab negara :
leih efektif, HAM : taggung jawab individu/ warga : kurang efektif.
Syarat agar hukum efektif (ibid) :
1. UU dirancang dg baik, kaidahnya
jelas, mudah dipahani & penuh kepastian.
2. UU sebaiknya bersifat malarang (
prohibitur) dan bukan mengharuskan/ membolehkan ( mandatur).
3.
Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan.
4. Beratnya sanksi tidak boleh
berlebihan( sebanding dengan pelanggarannya).
5. Mengatur terhadap perbuatan yang
mudah dilihat.
6. Mengandung larangan yang
berkesesuaian dengan moral.
7. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya
dg baik, menyebarluaskan UU, penafsira seragam dan konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
give your coument