Jumat, 20 April 2012

agraria

Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria


Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda). UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Untuk mewujudkan hal tersebut diatas dilakukan suatu upaya reformasi di bidang pertanahan (Landreform) yang pada waktu itu dikenal dengan Panca Program Agrarian Reform Indonesia, meliputi :
1.  Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2.  Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
3.  Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4.  Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
5.  Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Dengan adanya Panca Program Agraria Reform Indonesia yang merupakan suatu perwujudan kebijakan pemerintahan Orde Lama sebagaimana dituangkan di dalam UUPA tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan mengenai agraria maupun pertanahan. Akan tetapi dalam perkembangannya muncul berbagai permasalahan baru yang kurang begitu diakomodir di dalam UUPA itu sendiri. Pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan merupakan permasalahan penting yang mengketerkaitkan hubungan antara pemerintah sebagai penguasa, pemilik modal (investor) dan rakyat. Karena di dalam pembangunan tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya suatu pola hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara penguasa dengan pemilik modal (investor) yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat dan bahkan dapat merugikan kepentingan rakyat.

Distorsi yang memungkinkan terbangunnya hubungan simbiosis antara pemodal dan kekuasaan, yang karena kekentalan dan kekuatannya meminggirkan rakyat sesungguhnya dapat dilacak melalui tekad kekuasaan Orde Baru yang mempanglimakan ekonomi di awal rezim ini. Pada periode Orde Baru kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian dari pembangunan, tidak sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru telah terjadi suatu pergolakan orientasi terhadap pembangunan. Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian maka orientasinya kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi berbasis pada investasi asing dan juga eksploitasi SDA (sektor ekstraktif).


Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling populis (lebih bernuansa pro kepada rakyat kecil atau petani) di bandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang dibuat di masa Orde Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini. Di dalam perkembangannya, UUPA dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dari peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai agraria dan pertanahan. Lahirnya undang-undang baru yang berkaitan dengan agraria dan pertanahan diharapkan dapat meneruskan semangat UUPA yang lebih populis (berpihak pada rakyat kecil terutama para petani). Akan tetapi dalam kenyataannya telah terjadi ketidaksinkronan antara UUPA yang dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dengan undang-undang sektoral yang berkaitan pula dengan agraria dan pertanahan. Banyak ketentuan-ketentuan dari berberapa Undang-Undang sektoral tersebut yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan di dalam UUPA.

Munculnya Undang-Undang sektoral tersebut lebih menitikberatkan pada arah kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil dan hanya berpihak pada para pemilik modal saja (baik investor asing maupun domestik). Misalnya kelahiran Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dengan adanya UU ini maka terlihat jelas adanya suatu pergerseran pola orientasi pembangunan menuju ke arah industrialisasi dan investasi yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil. Kemudian muncul Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam peraturan tersebut, pengelolaan hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan dengan kebijakan hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA. 

Ketentuan dalam Undang-Undang kehutanan tersebut, masih memunculkan suatu sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Yang paling diperdebatkan pada pertengahan tahun 2005 ialah munculnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan adanya peraturan tersebut akan lebih mempermudah masuknya investasi pemodal asing ke Indonesia. Sehingga kekuatan-kekuatan modallah yang akan bermain dalam penguasaan tanah di Indonesia, hal ini tentunya akan berimplikasi rusaknya kemakmuran rakyat terutama rakyat tani, khususnya pencabutan hak atas tanah. Dalam pengertian pengadaan tanah untuk kepentingan umumpun juga belum ada penjelasan secara detail siapa yang akan mengelola : negara, swasta atau rakyat. Sehingga dikhawatirkan semua yang mengatur tentang pengadaan tanah ini lebih difokuskan pada kepentingan swasta, bukan kepentingan rakyat. 

Sebagai contoh konkritnya, setelah berlakunya Peraturan Presiden tersebut makin banyak kasus penggusuran yang dilakukan oleh penguasa terhadap pemukiman warga yang terjadi di Ibu Kota Jakarta dan berbagai daerah lainnya di Indonesia. Maraknya berbagai kasus penggusuran tersebut menyebabkan terjadinya konflik kepentingan (Conflict of Interest) antara kelompok-kelompok tertentu, dimana yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil.


Ketidaksinkronan materi muatan yang terkandung di dalam Undang-Undang sektoral dengan materi muatan UUPA sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat menyebabkan terjadinya konflik hukum (Conflict of Law). Hal tersebut tidak hanya terjadi antara Undang-Undang sektoral dan UUPA, akan tetapi konflik hukum (Conflict of Law) juga terjadi antara Undang-Undang sektoral itu sendiri. Salah satu penyebab utama kegagalan UUPA sebagai undang-undang payung (umbrella act) ataupun sebagai ¿pohon¿ peraturan perundang-undangan disebabkan karena materi muatan UUPA lebih dominan mengatur masalah pertanahan, sehingga menimbulkan kesan bahwa UUPA lebih tepat disebut sebagai ¿Undang-Undang Pertanahan¿ daripada Undang-Undang yang mengatur secara komprehensif dan proporsional tentang ¿agraria¿. Meskipun harus diakui bahwa UUPA sesungguhnya juga mengatur tentang kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, penataan ruang, sumber daya air, dan lingkungan hidup. Namun pengaturan-pengaturan masalah tersebut belum jelas dan tegas sebagaimana halnya UUPA mengatur masalah pertanahan. 

Selain hal tersebut, UUPA dirasakan belum dapat mengikuti perkembangan yang ada serta mengandung beberapa kekurangan, diantaranya adalah :
1.  UUPA belum memuat aspek perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi masyarakat, khususnya petani dan pemilik tanah serta masyarakat adat;
2.  UUPA tidak mampu merespon perkembangan global, khususnya perkembangan yang menuju ke arah industrialisasi yang menghendaki perubahan dalam pengaturan pertanahan;
3.  UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi mana yang harus mengkoordinir pengelolaan dan pengurusan tanah, dan lain sebagainya
  
Sebenarnya apa yang telah dipaparkan di atas hanya merupakan sebagian kecil masalah yang dihadapi dalam upaya penegakan UUPA, masih banyak permasalahan-permasalahan lain yang timbul di dalam bidang agraria khususnya bidang pertanahan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :
1.  Munculnya berbagai Undang-undang sektoral yang tidak taat / tidak sesuai dengan asas-asas yang termuat di dalam UUPA.
2.  Kurangnya pengakuan kedudukan masyarakat adat / penduduk asli setempat (indigenous people) sebagai pemilik tanah adat di era pembangunan. Sehingga banyak dari mereka yang menjadi korban pembebasan tanah dalam upaya untuk mewujudkan pembangunan;
3. Kurangnya pensertifikatan tanah di Indonesia, dari kurang lebih 85 juta bidang tanah yang ada di Indonesia, baru 25 juta bidang tanah yang telah bersertifikat (baru sekitar 30 % dari keseluruhan bidang tanah yang ada di Indonesia). Selain itu juga permasalahan munculnya sertifikat ganda dalam satu bidang tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia;
4. Timbulnya konflik kewenangan dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setelah munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah. Selain itu juga terjadi konflik antar departemen/instansi, karena muncul berbagai macam peraturan-peraturan sektoral yang saling bertentangan dan lebih cenderung mengutamakan kepentingan masing-masing departemen/instansinya. Sehingga hal tersebut sangat potensial mendatangkan ¿ego-sektoral¿ dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA); dan lain sebagainya.


Dari beberapa uraian permasalahan diatas, maka perlu dilakukan suatu penataan kembali kebijakan-kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan mengenai agraria maupun pertanahan dalam upaya untuk meneruskan cita-cita Reformasi Agraria (Agrarian Reform) maupun Reformasi dalam bidang pertanahan (Land Reform). Beberapa alternatif penyelesaian permasalahan tersebut diantaranya penyempurnaan aturan-aturan mengenai agraria maupun pertanahan sehingga terjadi keselarasan antara UUPA dengan beberapa Undang-Undang sektoral, perbaikan kinerja departemen / instansi yang bergerak di bidang agraria khususnya di bidang pertanahan, Salah satu upaya penting guna mewujudkan hal tersebut adalah dilakukannya penyempurnaan (perubahan maupun amandemen) UUPA.

Pada dasarnya upaya untuk melakukan penyempurnaan, baik berupa perubahan maupun amandemen terhadap ketentuan-ketentuan UUPA sudah menjadi pembahasan sejak dulu. Amandemen maupun perubahan terhadap UUPA telah diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dalam upaya untuk menyempurnakan UUPA hendaknya perlu diperhatikan beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1.  Pertimbangan naskah akademis sebagai dasar penyempurnaan UUPA untuk kedepannya. Agar amandemen maupun perubahan UUPA tersebut mampu menjadi instrumen hukum yang efektif, responsive, dan antisipatif dengan zamannya, maka diperlukan naskah akademis amandemen yang rasional komprehensif.
2.  Penguatan dan penghormatan Hak Ulayat, untuk kedepannya harus ada suatu penguatan terhadap hak ulayat sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA. karena hal tersebut merupakan suatu upaya untuk mengakui eksistensi keberadaan masyarakat adat / penduduk asli setempat (indigenous people).
3.  Penegasan pengaturan mengenai pembatasan tanah pertanian dan tanah non-pertanian, karena dirasakan adanya kesenjangan pemeliharaan dan pemanfaatan tentang tanah adat serta semakin jauh jarak dan rentang antara miskin dengan kaya.
4.  Penegasan pengaturan mengenai pembebasan tanah, sehingga di era industrialisasi pada masa sekarang ini pemerintah tidak hanya mengutamakan kepentingan para investor saja. Pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan rakyat yang menjadi korban dari pembangunan, misalnya, dengan memberikan kompensasi / uang ganti rugi yang layak serta relokasi bagi warga.
5.  Penyerasian UUPA dengan Undang-Undang sektoral lainnya, sehingga tidak terjadi suatu pertentangan antara peraturan yang mengatur masalah agraria maupun pertanahan.
6.  Guna mengatasi permasalahan yang timbul di bidang agraria dan pertanahan, berkaitan dengan kelembagaan maka perlu dibentuknya Departemen Agraria yang akan membawahi berbagai urusan seperti : urusan kehutanan, tata ruang, pertambangan, lingkungan hidup, minyak dan gas bumi serta lain-lain yang urusan tersebut bisa diserahkan kewenangannya setingkat Direktorat Jendral (Dirjen).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

give your coument